Kembali aku bertemu dengan ramadhan tahun ini namun ada yang beda dengan yang aku alami tahun lalu. Tahun lalu awal Ramadhan aku lalui di beberapa kota dan negara di Eropa. Hal yang paling aku rasakan adalah panjangnya puasa kala itu. Hampir 18 jam aku puasa namun tak pernah aku rasakan lemas, panas ataupun niat untuk membatalkan puasa itu.
Masih aku ingat saat awal puasa, saat itu aku lewati bersama teman-teman di Paris. Teman-teman yang baru aku kenal namun sudah menganggapku seperti keluarga. Kesibukan memasak di dapur seorang teman di Paris untuk berbuka, berdebat kapan waktunya berbuka hingga berdiskusi tentang tatacara orang bertarawih yang berbeda-beda. Rasanya baru kemarin kami bersama-sama menikmati berkah Ramadhan di Paris namun kini sudah harus bertemu kembali Ramadhan.
Sangat berbeda sekali suasana yang aku rasakan antara Ramadhan di negeriku sendiri dengan di negeri orang. Bayangkan saja sejak mata ini terbuka hingga mata ini tertidur, semua televisi menyiarkan acara yang berbau Ramadhan. Mulai dari acara Sahur bareng hingga acara menjelang buka puasa. Mulai kuis sampai acara sendau gurau yang isinya guyonan yang melebihi batas. Terkadang aku heran, ini yang lucu apa ya ko pada ketawa semua.
Dibandingkan saat aku melewati Ramadhan di Eropa, hanya kesepian yang aku rasakan. Tak ada suara azan ataupun imsak, tak ada suara petasan, tak ada suara orang ngaji. Bahkan tak pernah aku menemukan restauran, atau cafe yang jendelanya ditutup. Apalagi orang-orang terutama perempuan yang memakai jilbab. Boro-boro pakai jilbab yang ada malah cewek-cewek yang memakai baju yang kurang kain. Continue reading “Toleransi” →