Luka

Oleh Didi Tarmadi

Dedicated to my friend…….

don’t be sad…..

Kabut di halaman belakang rumah masih tampak berjelaga bahkan semakin tebal bersama untaian gelap merangkai malam yang semakin menua. Malam yang dihiasi bintang bekelip manja jauh di muka cakrawala yang tampak seperti kilau-kilau embun di ujung daun yang tertimpa cahaya matahari pagi. Malam berselimut angin berhempas pelan bersama suara jengkrik dan belalang yang terdengar nyaring. Sebuah irama malam yang terdengar natural tanpa polesan. Ada lagi, bunga adenium yang berwarna putih diatas keramba juga tampak berkilau tertimpa cahaya rembulan penuh, sesekali bunga itu bergoyang pelan dihempas angin dari sela daun ceri yang tumbuh rapat di samping pagar. Disampingnya ada setangkai pohon mawar yang juga tampak sedang berbunga. Hanya satu bunga berwarna merah menyala. Dua warna kontras di samar malam yang kadang bersentuhan saat angin menyapa lembut. Saat keduanya bersentuhan, kelembutan dan kemesraan tiba-tiba menyelinap mengisi ruang hati yang galau. Tak ada gesekan berlebihan, tak ada koyakan dikelopak bunga, tak ada luka yang tergores. Luka yang kerap datang menoreh cermin hati, goresan-goresan panjang mengangga yang nyata tidak mudah untuk dihapus bahkan bekasnya masih saja ada. Luka karena cabikan-cabikan yang boleh jadi tidak sengaja digoreskan atau luka karena torehan takdir. Apapun penyebabnya luka tetaplah luka. Perih dan pedih. Dan siapapun tentunya berharap luka itu jangan lagi mendekat.

Matanya lekat memandang butiran kabut yang jatuh satu-satu. Helaan nafasnya terdengar berat dan parau. Yah, aku telah menoreh luka. Desisnya dalam hati. Perkataan sendiri laki-laki yang sedang duduk di beranda belakang kost-annya itu seolah berbaur dengan desau angin. Memantul diantara butir-butir kabut yang berputar-putar di atas kelopak bunga mawar dan adenium yang tampak bertautan mesra.

Dan aku hanyalah seekor kunang-kunang. Entah kenapa aku tertarik dengan laki-laki yang mengenakan sarung dan baju koko putih yang sudah hampir empat jam duduk beku di beranda belakang. Cahaya yang aku keluarkan dari bagian bawah perutku tak juga membuat suamiku datang mendekat, mungkin ia sedang sibuk atau tidak melihat kelipan cahaya yang dihasilkan dari perpaduan antara zat kimia khusus bernama lusiferin dan enzim lusiferase yang diberikan Tuhan pada kaumku untuk menjadi signal komunikasi. Dan aku senantiasa memuji Tuhan dalam setiap helaan nafasku karena ternyata cahaya yang keluar dari tubuhku lebih hebat dari bola lampu yang ditemukan oleh ilmuwan terbesar manusia. Penemuan Thomas Edison itu hanya mampu merubah sepuluh persen saja dari energinya menjadi cahaya dan sembilan puluh persen sisanya berubah dan hilang menjadi panas. Sedangkan cahaya yang keluar dari tubuhku hampir seratus persen menjadi cahaya meskipun tidak menggunakan listrik. Tuhan maha besar.

Lihatlah, laki-laki itu kembali medesah. Dan aku bisa membaca setiap kata yang ada dalam hatinya. Itu juga mungkin kelebihanku. Tapi kami tidak pernah disibukkan dengan gosip-gosip kehidupan manusia yang maha aneh. Kami diciptakan untuk senantiasa memuji Tuhan. Aku telah membuatnya terluka. Desis laki-laki itu. Kata-katanya itu membuat keherananku pada kehidupan manusia semakin menjadi. Apa itu luka. Bagaimana rasanya. Dan kenapa luka itu ada. Aku tidak tahu. Tapi dari laki-laki itu aku bisa tahu apa itu luka. Tapi aku tidak bisa merasakannya walaupun sekuat tenaga aku mencoba untuk menghadirkannya.

Laki-laki itu menjelonjorkan ke dua kakinya sambil merapatkan baju kokonya yang tipis dan menurunkan sarungnya sampai ketumitnya. Tampaknya dingin malam telah merasuki pori-porinya. Tapi ia masih saja duduk terpekur.

Dibenak laki-laki itu menjelma rupa seorang wanita yang dulu pernah aku lihat duduk mesra bersamanya diberanda ini. Bayangan wanita itu berputar-putar bersama desahaannya yang terdengar kontinue. Tiba-tiba aku dikagetkan oleh kedatangan suamiku yang mendadak. Suamiku itu lalu duduk di sebelahku sambil tersenyum manis dan seperti biasa ia membawa sari bunga kesukaanku.

“Apa yang bunda pikirkan?” Kata-kata suamiku terdengar lirih. Tiba-tiba aku mendesah, sebuah reflek yang tidak pernah aku lakukan sebelumnya. Perhaps, laki-laki itu telah menarik empatiku.

“Bunda…………………” Suamiku bergumam sambil menatapku cemas. Untuk beberapa menit aku tetap diam. Tatapan mata suamiku mengikuti arah pandangku.

“Dia sedang dirundung bimbang.” Kata-kata suamiku membuatku terhenyak.

“Maksud Ayah?” Tatapanku lekat memandang kedua mata suamiku yang terasa teduh dan menenangkan. Aku mencoba menyelami telaga matanya. Tidak ada yang bisa aku dapat selain kedamaian dan keteduhan tanpa batas.

Dari cerita suamiku aku jadi lebih tahu tentang kehidupan manusia. Dan juga kisah lengkap laki-laki itu. Boleh jadi karena suamiku belakang ini lebih banyak menghabiskan malamnya berputar-putar di musholla dan di beranda rumah manusia. Bukannya di taman pinggir danau yang tenang tempat biasa kami menghabiskan seluruh malam. Kebiasaan suamiku itu membuatku cemburu dan karena sebab itulah aku berada di beranda rumah laki-laki itu.

Laki-laki itu sedang terluka. Tapi yang menarik justru dia lah yang telah menoreh luka di atas permadani hati seorang wanita. Aku tidak habis pikir juga kenapa hati manusia itu begitu rentan dan mudah sekali robek. Padahal ukurannya sangat jauh bila dibandingkan denganku. Dan anehnya sekali robek maka perlu ratusan tahun untuk menjahitnya dan bekas jahitannya tetap membekas. Dan luka itu selalu saja menimbulkan deposit dendam dan kebencian juah di dasar valung hati.

Kenapa laki-laki itu jua terluka bukankah semestinya ia menari dan berpesta pora bersama perhelatan besar karena ia telah berhasil mengarungi sebuah samudera lalu menemukan pelabuhan tempat bersandar sampannya. Tapi ternyata tidak. Ia tetap saja juga terluka. Dan aku bisa menebak lukanya sangat berbeda dengan luka seorang wanita yang nyata telah ia cabik-cabik. Boleh jadi itu hanya sebatas perasaan bersalah atau sebuah penyesalan. Tiba-tiba saja aku membenci laki-laki itu. Sebuah perasaan yang tidak pernah ada diantara kaum kami.

Aku ingin berteriak sekencangnya. Biar bintang-bintang itu tahu bahwa laki-laki itu telah berkhianat. Biar angin dan butir-butir kabut itu tahu kalau laki-laki telah menghancurkan hati seorang wanita yang kini sedang terbaring lunglai di kamarnya sambil bercucur air mata. Aku kini bisa merasakan apa yang sedang dirasakan wanita terluka itu. Air matakupun mulai mengalir deras. Wanita itu seperti berlari mendaki gunung terjal penuh duri. Kaki-kainya telah berlumuran darah tapi ia terus dipaksa untuk berlari. Kematian semakin mendekat. Ia juga seperti kapas basah. Dengan apa ia harus bangkit dan melanjutkan hidupnya. Apakah laki-laki itu tidak takut dengan rintihan halusnya di pertengahan malam. Rintihan yang mampu menggetarkan langit ketujuh tempat penguasa jagad raya itu bersemayam. Dan apa jadinya bila penguasa jagad raya itu murka.

Hmmmm. Rupanya laki-laki itupun tahu. Sehingga ia kini terpekur beku bersama butiran kabut yang mulai membeku dan dinginnya angin malam. Tapi ia hanya sekedar tahu saja. Toh ia tetap melanjutkan ayunan sampannya meninggalkan wanita itu. Lalu untuk apa rasa bersalah itu. Apakah hanya untuk membenarkan keputusannya ataukah hanya sekedar reaksi dari ruang hati yang lain. Hanya laki-laki itu yang tahu dan aku tidak bisa menyelaminya. Lalu apa kesalahan wanita malang itu. Pernyataan itu terus menggelitikku. Bahkan sampai fajar datang. Tapi pernyataan itu menggantung karena setelah fajar itu aku harus tidur. Hampir sebulan penuh aku sibuk. Melakukan investigasi. Tetangga dan saudara serta anakku aku sebar untuk mencari jawaban atas pertanyaan itu. Aku sendiri sibuk mencatat data yang telah berhasil di kumpulkan lalu aku mulai menganalisis permasalahannya.

Ternyata. Torehan luka wanita itu sudah dimulai sejak laki-laki itu mengenal wanita lain. Wanita lain itu panggil saja namanya Prisa. Dan di suatu hari takdir telah mempertemukan mereka dengan sebuah insiden kecil. Mobil Prisa menyerempet motor laki-laki itu di perempatan lampu merah. Dan sejak pertemuan itu terjalin sebuah hubungan yang semakin menjurus dari hari ke hari. Prisa adalah seorang alumus universitas terkemuka di negeri tetangga. Dan kini ia menghuni salah satu kantor tertinggi di jalan segi tiga emas. Pendidikan yang cukup, latar belakang keluarga yang mapan rupanya telah menghantarkannya menjadi sosok yang supel plus dengan torehan cantik di mukanya yang putih. Hmmmm, nyaris sangat ideal. Sedangkan wanita yang terluka itu hanya seorang wanita biasa. Wanita kebanyakan. Seorang karyawan biasa, wajah dan penampilannya juga biasa saja. Sangat biasa. Itulah kesimpulan dari hasil analisisku.

“Cobalah bunda berada dipihak laki-laki itu.” Kata suamiku saat aku hendak mengambil kesimpulan akhir tentang laki-laki itu. Kata-kata pengkhianat yang hendak aku tulis pada kolom laki-laki itu jadi urung.

“Maksud Ayah?” Aku menatap wajah suamiku dengan tatapan sayang.

“Apakah Bunda tidak ingin punya suami yang ganteng dan mapan?” Suamiku menatapku lekat. Aku mengangguk lemah.

“Tapi aku lebih suka yang bertanggungjawab.” Kataku mantap.

“Tidak ada jaminan Prisa itu tidak baik. Boleh jadi ia menjadi sosok ibu yang lebih progresif karena pikirannya maju.” Kata-kata suamiku membuatku sedikit kesal.

“Lalu bagaimana dengan wanita biasa itu? Apakah ia pantas dicampakkan? Apakah orang-orang seperti itu tidak bernilai dan tidak berhati?”

Tak ada rekasi dari wajah tenang suamiku. Hanya helaan nafasnya saja yang terdengar lemah. Aku juga seorang wanita walau kaumku beda. Tapi hati wanita tetaplah sama. Lalu kenapa Prisa juga merelakan hatinya menjadi tempat berlabuh kerakusan laki-laki itu. Bukankah dia juga seorang wanita. Apakah buaian kata-kata laki-laki itu telah membuatnya terhipnotis dan tidak lagi bisa merasakan betapa hancurnya hati sesama kaumnya. Aku hanya bisa menggeleng-geleng lemah. Aku bersyukur Tuhan menjadikan aku hanya seekor kunang-kunang.

Dan tetap saja simpatiku untuk wanita yang sedang terluka itu. Setiap malam aku duduk di daun pohon cemara mini yang ada di samping kamarnya. Berharap cahayaku bisa sedikit menghiburnya. Bisa memberikan energi kepadanya untuk lekas bangun dan menyulam luka hatinya. Aku ingin mengajaknya terbang menyusuri angkasa lalu hinggap di atas bintang-bintang. Saat itu ia akan tahu bahwa ada dunia lain yang lebih luas dan lebih indah. Dan dia juga akan tahu bahwa kasih Tuhan tidak pernah mati. Dan jua hanya kepadaNYA lah tempat memohon sulaman luka itu.

8 thoughts on “Luka

  1. @ Om Didi :
    Pengalaman pribadi ku om? Ehm kayanya ga banget gitu lho hehehe..Masa trias sampai segitunya si hehehe… Kalau pengalaman pribadi om cocok kali ya hehehe…

    @ Pak Sasa :
    Habisnya Om Didi maksa untuk publish cerpennya disini pak, kalau ga dimuat ntar aku dijitak hehehe. Ya mau ga mau deh pak daripada terjadi KDK (Kekerasan Dalam Kantor hehehe)

  2. om didi ini gimana … masa ceritanya dibalik … atuh susah bacanya …. saya dah coba baca dibalik … suerrrrr ndak bisa … om didi … gimana kalo buka blog sendiri … kan lebih mak nyoss lagi …

  3. Sebenarnya om Didi dah punya blog sendiri pak, tapi berhubung tidak laku (alias ga ada yang baca hehehe) makanya numpang di publish disini pak hehehehe. Tul ga om Didi? Btw kapan ni pak Sasa gabung lagi di Biomat?

  4. Lho kan kemaren dah trias ajarin om, masa si ga bisa2 juga.. .. Ya namanya juga anak kecil gitu lho om kalau ada peluang buat bisnis ya dibisnisin hehehe.. Kan lumayan om buat ongkos mudik ke Jogja ni hehehe…

Leave a reply to Threeas Cancel reply